.quickedit{display:none;}

Minggu, 28 Desember 2014

Artikel Feature (Wahyuni Tresna K)

Ketika Sampah Menjadi Penopong Kehidupan
By Wahyuni Tresna K

Waktu baru saja pukul 08.00 WIB pagi. Namun, sengatan sang surya mulai terasa menyekat di atas permukaan kulitnya. Aroma khas yang tidak asing mulai tertangkap oleh indra penciumannya. Tampak segerombolan lalat beterbangan sambil bersenda gurau di atas tumpukan tumpukan sampah yang mengeluarkan bau tak sedap. Seperti biasanya ia bangun pagi, ia terbangun untuk pekerjaannnya demi kelangsungan hidupnya. Sore hari menjelang magrib, barulah ia menyelesaikan segala pekerjaannya. Pak Rebo , seorang suami dan ayah dari orang anak. Anak 4 dari istri yang pertama ,anak 1 dari istri yang kedua. Usia pak Rebo kini sudah 70 tahun dan pak Rebo menjalani profesi sebagai tukang sampah. Meski ia sudah tua, tapi pak Rebo tetap kuat dan semangat. Aku sangat takjub melihat ke gigihannya . Setiap pagi, selalu dengan tergesa-gesa ia mandi dan langsung berangkat dari rumahnya yang di desa sindang laut pukul 07.00 WIB sampai di desa ku pukul 08.00 WIB. Setelah ia bersiap, ia mengambil gerobak tuanya yang besar dan berat. Gerobak usang yang telah menjadi temannya selama 4 tahun terakhir. Gerobak usang yang merupakan penampung segala jenis sampah yang bisa diuangkan. Pak Rebo menarik gerobaknya, mulai dari RT 02 sampai RT 03 Tidak pernah habis sampah yang dikumpulkan setiap hari. “Yah, walaupun saya setiap hari lewat jalan yang sama tapi sampahnya selalu ada, sampah dari rumah maupun sampah yang di jalan-jalan,” tutur Pak Rebo . Dulu Pak Rebo menjadi tukang sapu di Taman Ade Irma Suryani selama puluhan tahun semenjak ia masih muda. Pak Rebo pernah tinggal di kampung ku ketika ia bersama istri pertamanya. Ia mempunyai empat anak yang sudah menikah. Setelah istri pertamanya meninggal ia menikah dengan orang sindang laut mempunyai satu orang anak yang masih kecil. Lalu ia bekerja sebagai tukang sampah di kampung ku untuk menafkahkan istri yang kedua dan anaknya yang masih sekolah SD. Setiap bulan Pak Rebo mendapatkan uang dari hasil iuran masyarakat sekitar RP . 400.000.00. 
Segala peluh yang membasahi sekujur tubuhnya tak pernah menghentikan langkah Pak Rebo untuk terus mengais sampah. “Duka pasti banyak yah. Cuaca itu salah satunya. Entah panas atau hujan, buat bisa makan tetep harus kerja. Resikonya sama. Kalau panas basah karena keringat, kalau hujan juga basah karena air hujan,tutur Pak Rebo. Padahal bagi banyak orang, sangatlah mendekati nihil ada suka menjadi Pak Rebo. Pak Rebo menjelaskan, “Sukanya bekerja sudah kayak bentuk rasa syukur. Saya juga kerjanya dengan senang hati, apalagi saya bisa membantu menjaga kebersihan kampung Drajat.” Tuturnya. Walaupun Pak Rebo sudah tua tapi ia masih mempunyai semangat yang luar biasa”. Tujuh puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi Pak Rebo untuk menjalani hidupnya yang selalu kekurangan. Masa sulit yang dialami olehnya menjadi cermin, keterbatasan bukanlah penghalang untuk senantiasa bersyukur. Dan juga baginya, tidak ada artinya keringat dan malu dalam menjalankan kehidupan dan profesinya. Ia percaya bahwa roda selalu berputar, termasuk roda kehidupannya. Saya nggak mau anak saya jadi kayak saya. Nggak sekolah, nggak tahu dan nggak bisa kerja apa-apa. Jadi saya usaha biar anak saya bisa terus sekolah setinggi-tingginya selama saya masih diberi kesempatan sama Allah untuk terus usaha bekerja,” harap Pak Rebo. Anaknya yang sudah menikah tidak sepenuhnya membantu kehidupan Pak Rebo dengan istri dan anaknya yang sekarang. Pak Rebo yang pada saat diwawancara mengenakan baju lengan panjang berwarna abu abu kusam ini menutup wawancara dengan mengatakan, “Yang penting kita selalu mensyukuri apa yang sudah Allah beri pada kita dan terus usaha.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar