Keloas, Musik Tarling Menggeser
Kesenian Lain
Keloas
ati sun kaya keloas. Keberadaan musik tarling
semakin menggeser kesenian-kesenian lain yang ada di Cirebon.
Dari
sekitar 40 kesenian Cirebon, 28 kesenian dinyatakan nyaris punah, dua
diantaranya dinyatakan punah, sedangkan sisanya dinyatakan masih berkembang
hingga saat ini. Seperti yang dilansir oleh Republika.co.id (senin, 24/03/2014).
Kini masyarakat cenderung lebih menyukai Tarling
dari pada kesenian lainnya. Gitar dan suling merupakan instrument dasar dalam
musik Tarling.
Pada awal
perkembangan musik ini, tarling terdiri dari 2 buah gitar dan 1 buah suling
bangsing. Selanjutnya, musik ini berkembang dengan beberapa penambahan
instrumen musik lain sebagai pelengkap atau variasi dalam kesenian ini. Saat
ini penggunaan instrumen musik Tarling tidak terbatas pada gitar, suling,
gendang, ‘kecrek’/tamborin , goong, dan tutukan. Berikut ini instrumen musik
yang dapat digunakan untuk memainkan karya musik Tarling, diantaranya adalah
gitar (gitar melodi(lead) I,
gitar melodi (lead) II, bas gitar), suling diatonis,
gendang (gendang besar, ketipung), bongo, goong, kecrek, kebluk/tutukan, organ,
keyboard, drum & drum digital, micro composser/musik
computer, dan lain-lain. semua penambahan setiap instrumen berkembangan
mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan lagu itu sendiri. Kini masyarakat
lebih sering menyebut tarling dengan sebutan tarling organ tunggal.
Karena banyaknya perpaduan musik itulah
masyarkat lebih menyukai Tarling dari pada kesenian yang lainnya. Ditambah lagi
lagu Tarling biasanya bertema cinta, putus
cinta, tempat kenangan, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), nasib kehidupan
seseorang dan lain-lain. Walaupun sebenarnya saat ini sebagian masyarakat menganggap
Tarling condong ke hal yang negatif, akan tetapi sebagian masyarakat juga
menganggap tarling menyenangkan.
Hal
positif Tarling masa kini
Pelestarian budaya Cirebon
berkembang dengan baik dengan dukungan masyarakat yang tinggi. Tarling sebagai sarana
hiburan bagi masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Saran penggali bakat seni bagi para pelaku, pewaris, dan masyarakat awam.
Dapat dijadikan sarana profesi bagi masyarakat. Sarana atau media penyampaian
pesan-pesan pembangunan, baik pembangunan fisik material maupun pembangunan
mental spiritual. Masyarakat juga semakin kreatif dengan mengembangkan kesenian
tersebut.
Musik ini mengalir seperti air dalam kehidupan
masyakatnya. Oleh sebab itu, ia selalu berkembang mengiringi perubahan zaman.
Syair-syair dalam Tarling selalu menceritakan kisah sehari-hari yang sarat
pesan moral, menggambarkan kehidupan masyarakat di pesisir pantura Jawa Barat.
Tarling mudah diterima masyarakat
dan merakyat. Mengasyikan sehingga membuat kita bergoyang bebas. Walaupun syair
lagu Tarling tersebut bertemakan kesedihan, akan tetapi kita masih dapat
bergoyang, sawer, reques lagu yang akan dinyanyikan dan sebagainya.
Hal negatif Tarling saat ini
Saat ini Tarling
dianggap negatif oleh sebagian masyarakat, karena adanya penyanyi-penyanyi
seksi yang condong bersifat pornografi. Berlagak dipanggung memakai baju-baju
seksi, dan berpoleskan make up tebal. Biasanya penyanyi-penyanyi Tarling juga
bergoyang diatas panggung dengan gaya eksotis, sehingga dapat mengumbar syahwat yang dipandang tidak baik bagi mereka yang menjaga
keimanannya, namun bagi yang berpikiran kotor penampilan seksi dipandang
menyenangkan. Bagi artis Tarling hal semacam itu adalah wajar dan bentuk
penarik perhatian agar masyarakat banyak yang tertarik. Karena jika tidak
demikian maka peminatnya pun akan minim. Yang artinya mereka akan menghasilkan
uang yang minim pula.
Lagu-lagu dari Tarling bergenre
dewasa, atau anak dibawah umur tak seharusnya mendengarkan, melafalkan ataupun
mencoba memahami lagu-lagu Tarling dan syairnya bersifat jorok. Ada pula yang
menganggap musik tarling itu membosankan, pemakaian bahasa jawa pada syair Tarling tidak dimengerti oleh para pemuda
sakarang seperti pada lirik lagu “kawin paksa” (Tega nyiksa ning badan kula
nelangsa), dan lain-lain.
Dari hal
positif dan negatif itulah Tarling mendapat perhatian yang cukup besar sehingga
dapat menggeser kesenian lainnya yang cenderung bersifat monoton, dan hanya
sebagian masyarat saja yang dapat memainkan atau melakukannya. Sedangkan Tarling
dapat menarik berbagai lapisan masyarakat, dan siapapun dapat terjun langsung
menikmatinya.
Posisi Tarling
saat ini sangat kuat dan belum dapat tergeserkan oleh kebudayaan Cirebon
lainnya. Padahal masih banyak kebudayaan
cirebon lainnya sama seperti tarling yang merakyat dan berisikan nasihat atau petuah.
Tergesernya kebudayaan-kebudayaan
Cirebon karena musik tarling ini, mengakibatkan kebudayaan Cirebon berujung
pada kepunahan. Maka dari itu saat ini Pemerintah berupaya melestarikan
kebudayan-kebudayaan yang ada di Cirebon dengan menerapkan sistem pembelajaran
di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Oleh
karena itu seharusnya selain pembelajaran di Sekolah kita juga melestarikannya
diluar sekolah juga. Seperti ikut bergabung kesanggar-sanggar seni yang ada di
Cirebon dan lain sebagainya.
Kesadaran diri untuk melestarikan
budaya-budaya Cirebon sangatlah penting. Karena kesadaran adalah harus timbul
dari dalam diri terlebih dahulu kemudian diterapkan dalam kehidupan. Jika keasadran yang ada dalam diri kita saja
tidak ada, bagaimana kita akan membantu melestarikan kebudayaan kita ?
Masyarakat harus lebih didorong
mencintai kesenian Cirebon. Untuk itu kita sebagai pewaris kesenian yang ada
didaerah kita harus ada pelestarian melalui pementasan-pementasan kesenian khas
Cirebon dalam setiap event, baik di tingkat desa hingga daerah. Pemerintah dan
masyarakat harus berupaya lebih giat lagi untuk melestarikan budaya Cirebon. Ikut
serta dan mendukung dalam kegiatan pelestarian kebudayaan Cirebon. Untuk itu
gabungkan kekuatan masyarakat agar kebudayaan Cirebon tidak tergeserkan oleh
kebudayaan-kebudayaan lainnya. Jangan terkalahkan oleh kesenian yang lebih
moderen, karena jika kita kalah maka kesenian kita akan lebih banyak yang
musna. Maka dari itu cintai kesenian kita sendiri, agar bisa terus berkibar
hingga sampai Mancan Negara.
Ditulis oleh
Nurlaila Maidah
Mahasiswi Prodi Bahasa dan Sastra
Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Universitas Gunung Jati Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar