Ketika Sampah Menjadi Penopong Kehidupan
By Wahyuni Tresna K
Waktu baru saja pukul 08.00 WIB pagi.
Namun, sengatan sang surya mulai terasa menyekat di atas permukaan kulitnya.
Aroma khas yang tidak asing mulai tertangkap oleh indra penciumannya. Tampak segerombolan
lalat beterbangan sambil bersenda gurau di atas tumpukan tumpukan sampah yang
mengeluarkan bau tak sedap. Seperti biasanya ia bangun pagi, ia terbangun untuk
pekerjaannnya demi kelangsungan hidupnya. Sore hari menjelang magrib, barulah
ia menyelesaikan segala pekerjaannya. Pak Rebo , seorang suami dan ayah dari
orang anak. Anak 4 dari istri yang pertama ,anak 1 dari istri yang kedua. Usia
pak Rebo kini sudah 70 tahun dan pak Rebo menjalani profesi sebagai tukang
sampah. Meski ia sudah tua, tapi pak Rebo tetap kuat dan semangat. Aku sangat
takjub melihat ke gigihannya . Setiap pagi, selalu dengan tergesa-gesa ia mandi
dan langsung berangkat dari rumahnya yang di desa sindang laut pukul 07.00 WIB
sampai di desa ku pukul 08.00 WIB. Setelah ia bersiap, ia mengambil gerobak
tuanya yang besar dan berat. Gerobak usang yang telah menjadi temannya selama 4
tahun terakhir. Gerobak usang yang merupakan penampung segala jenis sampah yang
bisa diuangkan. Pak Rebo menarik gerobaknya, mulai dari RT 02 sampai RT 03
Tidak pernah habis sampah yang dikumpulkan setiap hari. “Yah, walaupun saya
setiap hari lewat jalan yang sama tapi sampahnya selalu ada, sampah dari rumah
maupun sampah yang di jalan-jalan,” tutur Pak Rebo . Dulu Pak Rebo menjadi
tukang sapu di Taman Ade Irma Suryani selama puluhan tahun semenjak ia masih
muda. Pak Rebo pernah tinggal di kampung ku ketika ia bersama istri pertamanya.
Ia mempunyai empat anak yang sudah menikah. Setelah istri pertamanya meninggal
ia menikah dengan orang sindang laut mempunyai satu orang anak yang masih
kecil. Lalu ia bekerja sebagai tukang sampah di kampung ku untuk menafkahkan
istri yang kedua dan anaknya yang masih sekolah SD. Setiap bulan Pak Rebo
mendapatkan uang dari hasil iuran masyarakat sekitar RP . 400.000.00.
Segala peluh yang membasahi sekujur
tubuhnya tak pernah menghentikan langkah Pak Rebo untuk terus mengais sampah.
“Duka pasti banyak yah. Cuaca itu salah satunya. Entah panas atau hujan, buat
bisa makan tetep harus kerja. Resikonya sama. Kalau panas basah karena
keringat, kalau hujan juga basah karena air hujan,tutur Pak Rebo. Padahal bagi
banyak orang, sangatlah mendekati nihil ada suka menjadi Pak Rebo. Pak Rebo
menjelaskan, “Sukanya bekerja sudah kayak bentuk rasa syukur. Saya juga
kerjanya dengan senang hati, apalagi saya bisa membantu menjaga kebersihan
kampung Drajat.” Tuturnya. Walaupun Pak Rebo sudah tua tapi ia masih mempunyai
semangat yang luar biasa”. Tujuh puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi
Pak Rebo untuk menjalani hidupnya yang selalu kekurangan. Masa sulit yang
dialami olehnya menjadi cermin, keterbatasan bukanlah penghalang untuk
senantiasa bersyukur. Dan juga baginya, tidak ada artinya keringat dan malu
dalam menjalankan kehidupan dan profesinya. Ia percaya bahwa roda selalu
berputar, termasuk roda kehidupannya. Saya nggak mau anak saya jadi kayak saya.
Nggak sekolah, nggak tahu dan nggak bisa kerja apa-apa. Jadi saya usaha biar
anak saya bisa terus sekolah setinggi-tingginya selama saya masih diberi
kesempatan sama Allah untuk terus usaha bekerja,” harap Pak Rebo. Anaknya yang
sudah menikah tidak sepenuhnya membantu kehidupan Pak Rebo dengan istri dan
anaknya yang sekarang. Pak Rebo yang pada saat diwawancara mengenakan baju
lengan panjang berwarna abu abu kusam ini menutup wawancara dengan mengatakan,
“Yang penting kita selalu mensyukuri apa yang sudah Allah beri pada kita dan
terus usaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar